Loading...
Loading...
Pendekatan Saintifik
A. Esensi
pendekatan saintifik.
Dalam Buku pedoman
Diklat Implementasi Kurikulum 2013, pembelajaran merupakan proses
ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah
dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan
dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Metode
ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail
untuk kemudian merumuskan simpulan umum.Metode ilmiah merujuk pada
teknik-teknik investigasi atas fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan
baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut
ilmiah, metode pencarian (method of
inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi,
empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.Karena itu,
metode ilmiah umumnya memuat serial aktivitas pengoleksian data melalui
observasi dan ekperimen, kemudian
memformulasi dan menguji hipotesis.
Hakikat IPA yang cukup
penting adalah dimensi proses ilmiah(metode ilmiah). Intinya bahwa siswa dalam
belajar IPA bukanbelajar hafalan konsep tetapi belajar menemukan melalui proses
sains.Dengan melakukan hands on activity dan minds on activity berbasisproses
sains, siswa dapat memahami, mengalami dan menemukanjawaban dari persoalan dari
yang mereka temukan dalam kehidupansehari-hari. Hal ini diperlukan untuk
meningkatkan literasi sains ataumelek sains terhadap berbagai persoalan, gejala
dan fenomena sainsserta aplikasinya dalam teknologi dan masyarakat. Hal ini
tentunyamenuntut kemampuan guru untuk memfasilitasi dengan kegiatandalam bentuk
LKS (worksheet) yang beorientasi pada keterampilanproses dan
terintegrasi. Hal ini dikuatkan bahwa pada Kurikulum2013 menekankan pembelajaran
IPA yang berbasis integrated scienceserta menekankan keterampilan berpikir dan
keterampilan proses (Susilowati, 2013).
Pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan saintific adalah pembelajaran yang menekankan pada
pemberian pengalaman secara langsung baik menggunakan observasi, eksperimen
maupun cara yang lainnya, sehingga realitas yang akan berbicara sebagai
informasi atau data yang diperoleh selain valid juga dapat
dipertanggungjawabkan. Gagne, menyebutkan bahwa dengan mengembangkan
keterampilan Sains anak akan dibuat kreatif, dan mampu mempelajari sains di
tingkat yang lebih tinggi dalamwaktu yang lebih singkat. Dengan menggunakan
keterampilan-keterampilan memprosesperolehan, siswa akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendiri fakta dan konsepserta menumbuhkan dan mengembangkan sikap
dan nilai. Tujuan pembelajaran sains akan tercapai jika terdapat keberhasilan
penilaian aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspekkognitif adalah hal-hal
yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan intelektual,
aspek afektif erat kaitannya dengan sikap dan emosi, dan aspek psikomotor
berkaitan dengan keterampilan.Ketiga aspek tersebut searah dengan hakikat sains
yangharus ditinjau dari segi produk, proses, dan sikap ilmiah. Penguasaan
aspek-aspek tersebut pada siswa dapat dilihat dari hasil belajar.
B. Pendekatan
saintifik dan non saintifik dalam pembelajaran.
Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu
lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradidional. Hasil
penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi
dari guru sebesar 10 persensetelah lima belas menit dan perolehan pemahaman
kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah,
retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan
perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen. Proses pembelajaran harus
dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan
penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan
tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus
dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.
Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
1.
Substansi atau materi pembelajaran berbasis
pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran
tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.
Penjelasan guru, respon peserta didik, dan
interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta,
pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik
berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami,
memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
4.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik
mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu
sama lain dari substansi atau materi pembelajaran.
5.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik
mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan
objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta
empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.
dipertanggungjawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara
sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Proses pembelajaran harus terhindar dari
sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah.Pendekatan nonilmiah dimaksud
meliputisemata-mata berdasarkan intuisi, akal sehat,prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal
berpikir kritis.
1.
Intuisi. Intuisi sering
dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan
individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh
seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga
dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara
cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat
secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian,
intuisi sama sekali menafsirikan dimensi alur pikir yang sistemik dan
sistematik.
2.
Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang
hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar.
Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal
sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan
pembelajaran.
3.
Prasangka. Sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat
(comon sense) umumnya sangat kuat
dipandu kepentingan orang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi
pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didompleng kepentingan pelakunya,
seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal
inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau
pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika
diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap
tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4.
Penemuan coba-coba.
Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang
bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan
caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan
tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya
dan bernilai kreatifitas. Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan
dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan
menemukan kepastian jawaban.
5.
Berpikir kritis. Kemampuan
berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga
jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki
oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya
dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak
semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan
reliabel, karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.
C. Langkah-langkah
pendekatan saintifik dalam pembelajaran.
Kurikulum
2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah.Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud
meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan
mencipta untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran, materi, atau
situasi tertentu, sangat mungkin
pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada
kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan
nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau
sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran disajikan berikut ini.
1.
Mengamati
Metode mengamati mengutamakan
kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull
learning). Metode ini memiliki keunggulan
tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik
senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati
dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan
matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan
mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.Metode mengamati sangat bermanfaat
bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran
memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik
menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi
pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam
pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
a.
Menentukan objek apa yang akan diobservasi
b.
Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek
yang akan diobservasi
c.
Menentukan
secara jelas data-data apa yang
perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
d.
Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi
e.
Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan
dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
f.
Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil
observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video
perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi
dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara
langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta
didik dalam observasi tersebut.
a. Observasi biasa (common observation). Pada observasi
biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang
sepenuhnya melakukan observasi (complete
observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan
pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
b. Observasi terkendali
(controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, padaobservasi
terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didiksama sekali tidak
melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.Merepa juga
tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi
terkendalipelaku atau objek yang diamati
ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada
pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau
eksperimen atas diri pelaku atau objek
yang diobservasi.
c. Observasi
partisipatif (participant observation).
Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung
dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling
lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi
semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas,
atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan
menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung
di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula
untuk mempelajari bahasa atau dialek
setempat, termasuk melibakan diri secara langsung dalam situasi kehidupan
mereka.
2.
Menanya
Guru yang efektif
mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah
sikap, keterampilan, dan pengetahuannya.Pada saat guru bertanya, pada saat itu
pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik.Ketika
guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong
asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
a.
Fungsi bertanya
1.
Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan
perhatian peserta didik tentang suatu
tema atau topik pembelajaran.
2. Mendorong dan
menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan
dari dan untuk dirinya sendiri.
3. Mendiagnosis
kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari
solusinya.
4. Menstrukturkan
tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan
sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang
diberikan.
5. Membangkitkan
keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi
jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
6. Mendorong
partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan
berpikir, dan menarik simpulan.
7. Membangun sikap
keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya
kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
8. Membiasakan peserta
didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang
tiba-tiba muncul.
9. Melatih kesantunan
dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
b.
Kriteria pertanyaan yang baik
1.
Singkat dan jelas.
2. Menginspirasi
jawaban.
3. Memiliki fokus.
4. Bersifat probing atau
divergen.
5. Bersifat validatif
atau penguatan.
6. Memberi kesempatan
peserta didik untuk berpikir ulang
7. Merangsang
peningkatan tuntutan kemampuan kognitif.
8. Merangsang proses
interaksi.
3.
Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata
atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama
untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, peserta didik
harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan
pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan
bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba
dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap,
keterampilan, dan pengetahuan.Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini
adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut
tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang
tersedia dan harus disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan
hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5)
mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik
simpulan atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan
hasil percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya
merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama
murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan
tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan
murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen
(6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan
bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan
mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
4.
Menalar
a.
Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran
dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan
bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam
banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru.Penalaran adalah proses
berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat
diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran
ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.Istilah menalar
di sini merupakan padanan dari associating;
bukan merupakan terjemanan dari reasonsing,
meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran.Karena itu, istilah
aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan
pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran
asosiatif.Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan
mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian
memasukannya menjadi penggalan memori.
Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus
ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan
dalam ruang dan waktu.Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran
akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik
dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons
(S-R).Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang
kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran
yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori
Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus
lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau
inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa
hukum dalam proses pembelajaran.
a. Hukum
efek (The Law of Effect),
b. Hukum
latihan (The Law of Exercise).
c. Hukum
kesiapan (The Law of Readiness).
b.
Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua cara menalar, yaitu
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara
menalardengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk
hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses
penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau
spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum.Kegiatan menalar secara induktif
lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik.
Penalaran deduktif
merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau
fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola
penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme.Cara kerja menalar secara
deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian
dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.
5. Mengkomunikasikan
Pada pendekatan scientific guru
diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengkomunikasikan apa
yang telah mereka pelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui menuliskan atau menceritakan apa yang
ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola.
Hasil tersebut disampikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar
peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. Kegiatan
“mengkomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam
Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013,
adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara
lisan, tertulis, atau media lainnya.
Adapun kompetensi yang diharapkan dalam
kegiatan ini adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan
berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan
mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.
D. Implikasi
pendekatan saintifik dalam pembelajaran IPA.
Pendekatan saintific dalam proses
ilmiah merupakan suatu cara untuk mempelajariaspek-aspek tertentu dari alam
secara terorganisir, sistematik dan melalui metode-metodesaintific yang
terbakukan. Ruang lingkup sains terbatas pada pada hal-hal yang dapatdipahami
oleh indera (penglihatan, sentuhan, pendengaran, rabaan, dan
pengecapan).Sedangkan yang disebut metode saintific adalah langkah-langkah yang
tersusunsecara sistematik untuk memperoleh suatu kesimpulan ilmiah.Metode
saintific juga seringdisebut metode induktif karena dalam prosesnya, metode
saintific dimulai dari hal-halyang bersifat spesifik ke kesimpulan yang
bersifat general.Metode saintific pada dasarnyamerujuk pada model penelitian
yang dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626).Model tersebut memiliki
langkah-langkah :
1. Mengidentifikasi masalah (dari fakta yang
ditemukan di lingkungan).
2. Mengumpulkan data yang sesuai dengan
permasalahan yang ditemukan.
3. Memilah data yang sesuai dengan
permasalahan.
4. Merumuskan hipotesis (dugaan ilmiah
yang menjelaskan data dan permasalahan yangada sehingga dapat menentukan langkah
penyelesaian masalah lebih lanjut).
5. Menguji hipotesis dengan mencari data
yang lebih faktual (mengadakan eksperimen)
6. Menguji keakuratan hipotesis yang telah
dirumuskan sebelumnya agar dapat mentukantindakan terhadap hipotesis tersebut
(mengkonfirmasi, memodifikasi, ataupun menolakhipotesis).
Implikasi dalam pembelajaran berkenaan
dengan hakikat metode saintific di atas, maka “pengetahuan yang diperoleh
melalui pembelajaran dan pembuktian” atau“pengetahuan yang melingkupi suatu
kebenaran umum dari hukum-hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan
dibuktikan melalui metode ilmiah.Pembelajaran dengan pendekatan saintific dalam
hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan dengan
menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi di alam. Penekanan belajar tampak bahwa siswa
aktif berproses, ini secara operasional membawa kepada situasi pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan saintific, menghadirkan keterampilan
proses pada siswa.
Dalam pembelajaran IPA menyusun
pembelajaran dengan pendekatan saintifik bukanlah hal yang sulit.Yang penting
jangan ceramah, karena pengajaran ceramah bukan pembelajaran yang menggunakan
pendekatan saintifik.Pembelajaran dengan pendekatan saintifik tidak harus
selalu praktik.Karena itu, untuk sekolah yang kurang memiliki alat-alat praktik
dapat melaksanakan pembelajaran saintifik itu.
Berpikir ilmiah dalam pendekatan
saintifik dilaksanakan dengan selalu mengacu pada obyek dan fenomena yang
dipermasalahkan. Obyek dan fenomena dapat diperlihatkan pada siswa melalui
demonstrasi oleh guru atau siswa, obyek-obyek di lingkungan sekolah, model 3
dimensi, minimal dengan gambar obyek. Jika menggunakan gambar diperlukan dua
atau lebih gambar yang memperlihatkan perubahan obyek yang mengindikasikan
peristiwa yang terjadi pada obyek-obyek dalam gambar tersebut.Dalam berpikir
ilmiah siswa menggunakan pengetahuan dari obyek dan fenomena yang diamatinya
dan pengetahuan yang telah dimilikinya. Dengan cara itu pendekatan saintifik
diterapkan dalam pembelajaran IPA.
Kemampuan berpikir ilmiah akan selalu
digunakan dalam setiap kegiatan pembelajaran aktif dalam IPA. Sebagai contohnya
siswa mempelajari suatu konsep IPA dari suatu informasi di internet. Dalam
mempelajari konsep tersebut siswa harus mengetahui obyek dan fenomena apa yang
dibahas dalam informasi itu, bagaimana konsepnya (prinsip atau teorinya),
syarat keberlakukan konsepnya, dan aspek-aspek lain yang perlu diperhatikan.
Loading...
0 Response to "Pendekatan Saintefik"
Posting Komentar